Sejak lama, saya adalah penggemar bebek goreng. Sejak menghilangnya ayam kampung karena terdesak oleh ayam "negeri", saya menemukan kenikmatan rasa ayam kampung di daging bebek. Walau tidak sama persis. Dulu, ketika daging ayam itu identik dengan ayam kampung, rasanya agak aneh mendengar orang mengkonsumsi daging bebek. Apalagi dengan informasi bahwa daging bebek berasa amis. Ternyata info tersebut salah. Bukan saja bebek, seorang kawan mengenalkan saya pada masakan Entog Rica-rica, yang ternyata juga enak dan membongkar mitos lama bahwa entog, unggas air yang berukuran lebih besar dari bebek dan berwarna putih atau belang hitam, juga beraroma amis. Sate Blengong adalah menu yang disarankan oleh seorang kawan asli Tegal, sebagai alternatif sate (kambing) Tegal. Blengong adalah unggas hasil "kawin paksa" antara bebek (jantan) dengan menthok atau Entog (betina). Jika perkawinan paksa ini dilakukan antara Entog pejantan dan bebek betina, keturunannya disebut Tongki. Dan katanya tidak seenak Blengong. Saya tambah tergerak untuk mencoba menu ini ketika Vita (novita_dewi at cbn.net.id) menyarankan untuk mencobanya. Saya hanya berbekal pesan Vita bahwa Sate Blengong ada di alun-alun Tegal, depan stasiun. Malam kedua setelah Lebaran, saya menginap di rumah kakak ipar di Tegal dan secara khusus minta agar makan malamnya adalah Sate Blengong. Saya hanya mengatakan bahwa lokasi penjualnya ada di alun-alun. Menikmati Sate Blengong Semula saya agak bingung ketika diajak "berputar-putar" menjauhi alun-alun, sampai di suatu jalan yang gelap di pinggir sawah. Kata keponakan saya, di sinilah tempat orang makan sate Blengong. Di jalanan gelap itu terdapat banyak sekali gerobak penjual makanan. Ternyata semuanya berjualan sate Blengong! Menurut salah satu penjual sate Blengong yang kami hampiri, setidaknya di sepanjang jalan ini terdapat 15 penjual sate Blengong. Waow! Walaupun nampaknya malam itu tidak sebanyak itu yang berjualan, namun jumlah gerobak yang ada cukup menimbulkan tanda tanya bagi yang tidak tahu bahwa Jalan Sawo di kecamatan Tegal Barat itu memang sentranya penjual sate Blengong. Apalagi sepanjang jalan Sawo tersebut sama sekali tidak ada penerangan jalan. Yang ada hanya sorot lampu dari rumah dan warung yang ada di seberang jalan, sementara deretan gerobak sate Blengong ini ada di samping persawahan. Semua gerobak penjual sate Blengong ini hanya menggunakan penerangan dari lampu minyak tanah, untuk menerangi gerobaknya. Di belakang gerobak ini terhampar tikar, atau tikar plus meja duduk. Di tempat seperti itulah para calon penikmat sate Blengong duduk. Tidak ada tenda. Kemungkinan besar, penjual maupun pembeli akan lari tunggang langggang manakala turun hujan. Benar-benar warung open air. Karena beratapkan langit, tidak mengherankan jika para penjual sate Blengong ini hanya buka dari sore sampai malam. Sate Blengong Jenis menu yang ditawarkan ada tiga macam yaitu blengong goreng, sate blengong dan sate tulang rawan blengong. Penasaran, saya order ketiga-tiganya. Menu ini dimakan dengan sepiring lontong (atau ketupat) berkuah mirip lodeh kental. Tidak sama persis dengan kuah Kupat Glabed khas Tegal sih. Tapi juga tidak seencer kuah lodeh. Pertama, saya nikmati sate Blengong. Jangan dibayangkan sate yang dibakar ya. Nampaknya daging Blengong ini digoreng lalu dibumbui dan ditusuk lidi dari bambu. Salah sate ciri khas sate Blengong, kata saudara yang menyertai, adalah lidinya yang tipis dan superlentur sehingga tidak bisa tegak seperti sate kebanyakan. Karena tidak dibakar seperti sate lain, nampaknya fungsi lidi di sini sekedar menyatukan potongan daging. Sepiring Lontong dan Sate Tulang Rawan Blengong Karena dihidangkan dalam piring saji kecil, sebentar saja saya sudah merasa perlu untuk order lontong sepiring lagi. Sebenarnya tanpa disertai lauk apapun, lontong ini juga sudah enak disantap karena kuah dan krupuk yang menyertainya. Berikutnya saya mencoba menikmati sate tulang rawan Blengong. Mendadak kunyahan saya terhenti. Ini mah bukan tulang rawan, tapi tulang beneran, he..he..he.. saya baru ingat, tidak ada tulang rawan di unggas. Kepintaran si penjual saja menyebut tulang asli Blengong sebagai tulang rawan. Bagaimana mau mengatakan tulang rawan kalau yang tersusun adalah potongan-potongan tulang iga Blengong. Sepiring sate tulang rawan saya singkirkan. Blengong Goreng Saya nikmati Blengong goreng. Tiap potongan daging ternyata ada tusuk bambunya. Mungkin agar mudah dipegang, pikir saya. Untuk membantu menghitung berapa yang dimakan, kata keponakan saya. Lah, kalau abis makan tusuknya saya buang gimana hayo, saya candai keponakan saya. Yang manapun yang benar soal tusukan bambu ini, menurut saya paling enak ternyata Blengong goreng. Rasa dagingnya masih asli, gurih seperti daging ayam kampung. Sedangkan satenya sudah tercampur dengan bumbu berbahan utama kecap. Sedangkan sate tulang rawan Blengong, mending gak usah dicoba deh. Tulang asli, soalnya. Soal harga, lumayan murah untuk ukuran Jakarta. Sepiring ketupat berkuah dihargai Rp5000, satu potong Blengong goreng Rp 3500, satu tusuk sate Blengong Rp 3000 dan sate tulang rawan nan keras Rp 500/tusuk. Wah ya pantas kalau keras. penasaran, mau nyoba....? sumber : www.ncc-indonesia.com |
Rabu, 06 Juli 2011
Kupat Blengong, Kuliner Khas Tegal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar